Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia mencipta-kan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya,....” [Ar-Ruum/30: 21]
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan isteri sebagai salah
satu tanda kekuasaan Allah yang harus dijaga. Ia adalah salah satu
nikmat-Nya yang wajib disyukuri, sebagaimana yang diperintahkan-Nya.
Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kita untuk
mengikuti perintah-perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu
dalam firman-Nya:
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
“... Taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya)...” [An-Nisaa’/4: 59]
Dan di antara perintah yang sangat beliau tegaskan dan sering beliau
sebut-sebut ialah hak wanita yang lemah ini. Oleh karena itu, wajib bagi
kita untuk mengetahui haknya atas kita dan menunai-kan hak tersebut
dalam bentuknya yang paling sempurna.
Saudaraku yang tercinta, dengarlah akan hak-hak isterimu, sehingga
engkau bersyukur kepada Allah atas nikmat ini serta meng-ikuti
perintah-perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkenaan dengan
hal itu, juga agar engkau tidak menzhaliminya, karena kezhaliman adalah
kegelapan pada hari Kiamat.
1. WASIAT NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM TENTANG WANITA
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِيْ جَارَهُ،
وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ،
وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْئٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ
تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ،
فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا.
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia
menganggu tetangganya, dan berbuat baiklah kepada wanita. Sebab, mereka
diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok
adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, maka engkau
mematahkannya dan jika engkau biarkan, maka akan tetap bengkok. Oleh
karena itu, berbuat baiklah kepada wanita."[1]
Al-Bukhari meriwayatkan juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْمَرْأَةُ كَالضِّلَعِ، إِنْ أَقَمْتَهَـا كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا، وَفِيْهَا عِوَجٌ.
"Wanita itu seperti tulang rusuk; jika engkau luruskan (tegak-kan),
engkau mematahkannya, dan jika engkau bersenang-senang dengannya, maka
engkau dapat bersenang-senang dengannya, sedangkan di dalamnya ada
kebengkokan."[2]
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallah anhu, ia mengatakan:
"Kami takut berbicara dan bersenda gurau dengan wanita-wanita (isteri)
kami pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena khawatir akan
turun suatu ayat kepada kami. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah meninggal, kami pun bercakap-cakap dan bersenda gurau."[3]
Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِنِّيْ أُحَرِّجُ عَلَيْكُمْ حَقَّ الضَّعِيْفَيْنِ: اَلْيَتِيْمِ وَالْمَرْأَةِ.
"Sesungguhnya aku mengkhawatirkan hak dua orang yang lemah atas kalian: anak yatim dan wanita."[4]
Al-Hakim meriwayatkan dari Samurah Radhiyallahua anhu secara marfu’:
خُلِقَتِ الْمَرْأَةُ مِـنْ ضِلَعٍ، فَإِنْ تُقِمْهَا تُكْسِرْهَـا فَدَارِهَا، تَعِشْ بِهَا.
"Wanita itu diciptakan dari tulang rusuk; jika kamu meluruskannya, maka
kamu mematahkannya. Jadi, berlemah lembutlah terhadapnya, maka kamu akan
dapat hidup bersamanya."[5]
Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h: “Hadits ini berisi anjuran agar
berlemah lembut untuk melunakkan hati. Hadits ini pun berisi cara
memimpin wanita, yaitu dengan cara memaafkan mereka dan bersabar
terhadap kebengkokan mereka. Dan siapa yang ingin meluruskan mereka,
berarti mengambil manfaat (adanya) mereka. Karena setiap manusia
membutuhkan wanita; ia merasa tenteram kepadanya dan menjadikannya
sebagai penopang kehidupannya. Seolah-olah beliau mengatakan: ‘Mengambil
manfaat mereka tidak akan tercapai kecuali dengan bersabar
terhadapnya.’”[6]
Bahkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan terhadap mereka di akhir kehidupannya, dan hal itu pada haji Wada’.
Sebagaimana at-Tirmidzi meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَـاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ عَوَانٌ
عِنْدَكُمْ -أَيْ أسِيْرَاتٍ- لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا
غَيْرَ ذَلِكَ، إِلاَّ أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَـاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، فَإِنْ
فَعَلْنَ فَـاهْجُرُوْهُنَّ فِـي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْاهُنَّ ضَرْبًا
غَيْرَ مُبَرِّحٍ، فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ أَنْ
لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِيْ
بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقَّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ
تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فِيْ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ.
"Ingatlah, berbuat baiklah kepada wanita. Sebab, mereka itu (bagaikan)
tawanan di sisi kalian. Kalian tidak berkuasa terhadap mereka sedikit
pun selain itu, kecuali bila mereka melakukan perbuatan nista. Jika
mereka melakukannya, maka tinggalkanlah mereka di tempat tidur mereka
dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Jika ia mentaati
kalian, maka janganlah berbuat aniaya terhadap mereka. Mereka pun tidak
boleh memasukkan siapa yang tidak kalian sukai ke tempat tidur dan rumah
kalian. Ketahui-lah bahwa hak mereka atas kalian adalah kalian berbuat
baik kepada mereka (dengan mencukupi) pakaian dan makanan mereka."[7]
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: “Makna عَـوَانٌ (dalam hadits di
atas) adalah أَسِيْرَاتٌ (tawanan). Kaum wanita diserupakan sebagai
tawanan di sisi kaum pria, karena kaum pria memerintah dan berkuasa atas
mereka."[8]
Dalam riwayat Muslim:
اِتَّقُوا اللهَ فِـي النِّسَـاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ
بِأَمَـانَةِ اللهِ، وَاسْـتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ،
وَلَهُنَّ عَلَيْكُـمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ.
"Bertakwalah kepada Allah dalam perihal wanita. Karena sesungguhnya
kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan dihalalkan atas kalian
kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Maka hak mereka atas kalian adalah
memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan cara yang ma’ruf."[9]
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ.
‘Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika ia tidak
menyukai satu akhlak darinya, maka ia menyukai yang lainnya.’”[10]
2. DIHARAMKAN MENYEBARKAN RAHASIANYA.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, dari Abu Sa’id
al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ،
اَلرَّجُلُ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِيْ إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ
سِرَّهَا
‘Manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat
adalah laki-laki yang 'mendatangi' isterinya, dan wanita itu pun
'mendatangi' suaminya, kemudian ia (laki-laki itu) menyebarkan rahasia
isterinya.’”[11]
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini berisi pengharaman
laki-laki menyebarkan apa yang berlangsung antara dirinya dengan
isterinya, misalnya tentang hubungan suami isteri dan menyifati hal itu
secara detil serta apa yang berlangsung pada diri wanita, baik ucapan,
perbuatan maupun sejenisnya pada saat berhubungan. Adapun sekedar
menyebut hubungan badan, jika tidak ada faidah di dalamnya dan tidak
dibutuhkan, maka hal itu makruh, karena bertentangan dengan etika yang
baik. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.
‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah dia berkata dengan perkataan yang baik atau diam.”[12]
3. DI ANTARA HAKNYA IALAH, ENGKAU MENGIZINKANNYA KELUAR UNTUK KEBUTUHANNYA YANG MENDESAK.
Kaum wanita pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai cadar,
dan mereka keluar untuk keperluan mereka, seperti pergi untuk buang
hajat sebelum WC dibuat di dalam rumah, atau pergi untuk keperluan yang
mendesak. Tidak sebagaimana kaum wanita pada hari ini, mereka keluar,
baik untuk suatu keperluan maupun tidak, dengan bersolek, berhias dan
memakai parfum.
Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan:
“Saudah binti Zam’ah keluar pada suatu malam, lalu ‘Umar melihat-nya
dan mengenalinya seraya mengatakan: ‘Wahai Saudah, demi Allah, engkau
tidak dapat menyembunyikan dirimu dariku.’ Maka ia pun kembali kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyebutkan hal itu kepada
beliau, pada saat itu beliau berada di rumahku sedang makan malam dan
tangan beliau sedang memegang tulang yang masih terdapat sisa daging
padanya. Kemudian wahyu diturunkan kepada beliau, lalu (hidangan)
diangkat dari beliau, seraya bersabda:
قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ.
‘Sesungguhnya Allah telah mengizinkan kepada kalian keluar untuk keperluan (hajat) kalian.’
Hisyam bin ‘Urwah berkata: ‘Maksudnya adalah buang hajat, yaitu buang air besar.’”[13]
Dalam riwayat Muslim: ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata: "Kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat tentang hijab."
Yang menyebabkan ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu melakukan hal
itu karena dia menginginkan turunnya wahyu mengenai hijab. Dan ternyata,
turunnya ayat hijab menyelarasi pendapat ‘Umar bin al-Khaththab.
Tetapi, keluarnya wanita dari rumahnya harus disertai beberapa syarat, yaitu:
a. Komitmen dengan hijab syar’i yang dapat menutupi tubuh wanita dan
wajahnya, serta tidak berdandan dengan pakaian yang berwarna-warni, dan
(hendaknya) memakai pakaian yang longgar.
b. Tidak berbaur dengan kaum pria.
c. Tidak memakai parfum. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengabarkan bahwa jika wanita melakukan hal itu, berarti dia adalah
seorang yang demikian dan demikian, maksudnya pezina.
Jika wanita tidak komitmen dengan hal itu, dan keluarnya itu untuk
kepentingan yang mendesak, maka dia tidak boleh keluar dari rumahnya
tanpa memenuhi syarat yang kami sebutkan tadi.
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu
Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap
Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu
Katsir - Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 5185) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 60) kitab ar-Radhaa’, (II/1091).
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 5184) kitab an-Nikaah, Muslim, no. 1468 kitab ar-Radhaa’.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5187) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah, (no. 1632) kitab Maa Jaa-a fil Janaa-iz, Ahmad (no. 5262).
[4]. HR. Ibnu Majah (no. 7678) kitab al-Adab, Ahmad (no. 9374), Ibnu
Hibban, (no. 1266), al-Hakim (I/63) dan ia menilainya sebagai hadits
shahih sesuai syarat Muslim. Disetujui oleh adz-Dzahabi dan dihasankan
oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahiihah (no. 1015).
[5]. HR. Al-Hakim (IV/174), dan ia menilainya shahih sesuai syarat
Muslim, serta disetujui oleh adz-Dzahabi, Ibnu Hibban (no. 1308), dan
dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (III/163.
[6]. Al-Fat-h (IX/163).
[7]. HR. At-Tirmidzi (no. 1163), kitab ar-Radhaa’, dan ia menilainya
sebagai hadits hasan shahih, Ibnu Majah (no. 185) kitab an-Nikaah, dan
dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Ibni Majah (no. 5101)
dan al-Irwaa’ (no. 1997).
[8]. Lihat, Aadaabuz Zifaaf, Syaikh al-Albani, hal. 270.
[9]. HR. Muslim (no. 1218) kitab al-Hajj, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[10]. HR. Muslim (no. 1469) kitab ar-Ridhaa’, Ahmad (no. 8163).
[11]. HR. Muslim (no. 1437) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 4871) kitab al-Adab.
[12]. HR. Al-Bukhari (no. 6018) kitab al-Adab, Muslim (no. 47) kitab
al-Iimaan, at-Tirmidzi (no. 2500) kitab Shifatul Qiyaamah war Raqaa-iq
wal Waraa’, Abi Dawud (no. 5154) kitab al-Adab, Ibnu Majah (no. 3971).
Dan lihat, Shahiih Muslim bisy Syarhin Nawawi (V/262).
[13]. HR. Al-Bukhari (no. 5237) kitab an-Nikaah, dan (no. 146) kitab al-Wudhuu’, Muslim (no. 2170) kitab as-Salaam.
source :
http://almanhaj.or.id/content/2140/slash/0/wasiat-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam-tentang-wanita/