Sabtu, 31 Agustus 2013

Cara Untuk Bermaksiat


Seorang laki-laki menghadap Ibrahim bin Adham. Beliau termasuk salah satu dokter hati. Lelaki tersebut berkata kepadanya, “Sungguh, saya telah menjerumuskan diri saya dalam kemaksiatan. Oleh karena itu, tolong berikan saya resep untuk mencegahnya.” Ibrahim bin Adham berkata kepadanya, “Jika engkau mampu melakukan lima hal, engkau tidak akan menjadi ahli maksiat.” Lelaki tersebut berkata – Dia sangat penasaran untuk mendengarkan nasihatnya, “Tolong ungkapkan apa yang ada di benak Anda wahai Ibrahim bin Adham!”
Ibrahim bin Adham berkata,
“Pertama, ketika engkau hendak berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka janganlah engkau makan sedikit pun dari rezeki Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Lelaki tersebut heran kemudian dia bertanya, “bagaimana Anda bisa mengatakan hal tersebut wahai Ibrahim. Padahal semua rezeki berasal dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala?” Ibrahim berkata, “Jika engkau telah menyadari hal itu, maka apakah pantas engkau makan rezeki-Nya padahal engkau berbuat maksiat kepada-Nya?” Lelaki tersebut menjawab, “Tentu tidak pantas. Lalu apa yang kedua, wahai Ibrahim!”
“Kedua, jika engkau hendak berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka janganlah engkau tinggal di bumi-Nya.” Lelaki tersebut terheran-heran melebihi yang pertama, kemudian dia berkata, “Bagaimana Anda bisa mengatakan hal tersebut wahai Ibrahim? Padahal setiap bagian bumi ini milik Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Ibrahim menjelaskan kepadanya, “Jika engkau telah menyadari hal itu, maka apakah pantas engkau tinggal di bumi-Nya padahal engkau berbuat maksiat kepada-Nya?” Lelaki tersebut menjawab, “Tentu tidak pantas. Lalu apa yang ketiga, wahai Ibrahim!”
Ibrahim bin Adham berkata,
“Ketiga, jika engkau hendak berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka carilah tempat di  mana Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak dapat melihatmu, lalu berbuatlah maksiat di tempat itu!” Lelaki tersebut berkata, “Bagaimana Anda bisa mengatakan hal tersebut wahai Ibrahim? Padahal Allah Maha Mengetahui hal-hal rahasia (Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi). Dia dapat mendengar merayapnya semut pada batu besar yang keras di malam yang gelap.” Ibrahim menjelaskan kepadanya, “Jika engkau telah menyadari hal itu, maka apakah pantas engkau berbuat maksiat kepada-Nya?” Lelaki tersebut menjawab, “Tentu tidak pantas. Lalu apa yang keempat, wahai Ibrahim!”
Ibrahim bin Adham berkata,
“Keempat, jika malaikat maut datang untuk mencabut nyawamu, maka katakanlh padanya, ‘Tundalah kematianku sampai waktu tertentu!’ Lelaki tersebut bertanya, “Bagaimana Anda bisa mengatakan hal tersebut wahai Ibrahim? Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.” (QS. Al-Araf: 34)
Ibrahim bin Adham menjeaskan kepadanya, “Jika engkau telah menyadari hal itu, lantas mengapa engkau masih mengharap keselamatan?” Dia menjawab, “Iya. Lalu apa yang kelima wahai Ibrahim?”
Ibrahim bin Adham berkata,
“Kelima, apabila malaikat Zabaniyah – mereka adalah malaikat penjaga – mendatangimu untuk menyeretmu ke neraka Jahannam, maka janganlah engkau ikut mereka. Belum sampai lelaki ini mendengarkan nasihat yang kelima, dia berkata sambil menangis, “Cukup, Ibrahim. Saya memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertaubat kepada-Nya. Akhirnya dia senantiasa beribadah sampai meninggal dunia.”

Source :  http://muslimahzone.com/cara-untuk-bermaksiat/

Jumat, 30 Agustus 2013

Wasiat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Tentang Wanita


Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia mencipta-kan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,....” [Ar-Ruum/30: 21]

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan isteri sebagai salah satu tanda kekuasaan Allah yang harus dijaga. Ia adalah salah satu nikmat-Nya yang wajib disyukuri, sebagaimana yang diperintahkan-Nya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kita untuk mengikuti perintah-perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dalam firman-Nya:

أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
“... Taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya)...” [An-Nisaa’/4: 59]

Dan di antara perintah yang sangat beliau tegaskan dan sering beliau sebut-sebut ialah hak wanita yang lemah ini. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengetahui haknya atas kita dan menunai-kan hak tersebut dalam bentuknya yang paling sempurna.

Saudaraku yang tercinta, dengarlah akan hak-hak isterimu, sehingga engkau bersyukur kepada Allah atas nikmat ini serta meng-ikuti perintah-perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkenaan dengan hal itu, juga agar engkau tidak menzhaliminya, karena kezhaliman adalah kegelapan pada hari Kiamat.

1. WASIAT NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM TENTANG WANITA
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِيْ جَارَهُ، وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْئٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا.

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia menganggu tetangganya, dan berbuat baiklah kepada wanita. Sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, maka engkau mematahkannya dan jika engkau biarkan, maka akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berbuat baiklah kepada wanita."[1]

Al-Bukhari meriwayatkan juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلْمَرْأَةُ كَالضِّلَعِ، إِنْ أَقَمْتَهَـا كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا، وَفِيْهَا عِوَجٌ.

"Wanita itu seperti tulang rusuk; jika engkau luruskan (tegak-kan), engkau mematahkannya, dan jika engkau bersenang-senang dengannya, maka engkau dapat bersenang-senang dengannya, sedangkan di dalamnya ada kebengkokan."[2]

Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallah anhu, ia mengatakan: "Kami takut berbicara dan bersenda gurau dengan wanita-wanita (isteri) kami pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena khawatir akan turun suatu ayat kepada kami. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal, kami pun bercakap-cakap dan bersenda gurau."[3]

Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنِّيْ أُحَرِّجُ عَلَيْكُمْ حَقَّ الضَّعِيْفَيْنِ: اَلْيَتِيْمِ وَالْمَرْأَةِ.

"Sesungguhnya aku mengkhawatirkan hak dua orang yang lemah atas kalian: anak yatim dan wanita."[4]

Al-Hakim meriwayatkan dari Samurah Radhiyallahua anhu secara marfu’:

خُلِقَتِ الْمَرْأَةُ مِـنْ ضِلَعٍ، فَإِنْ تُقِمْهَا تُكْسِرْهَـا فَدَارِهَا، تَعِشْ بِهَا.

"Wanita itu diciptakan dari tulang rusuk; jika kamu meluruskannya, maka kamu mematahkannya. Jadi, berlemah lembutlah terhadapnya, maka kamu akan dapat hidup bersamanya."[5]

Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h: “Hadits ini berisi anjuran agar berlemah lembut untuk melunakkan hati. Hadits ini pun berisi cara memimpin wanita, yaitu dengan cara memaafkan mereka dan bersabar terhadap kebengkokan mereka. Dan siapa yang ingin meluruskan mereka, berarti mengambil manfaat (adanya) mereka. Karena setiap manusia membutuhkan wanita; ia merasa tenteram kepadanya dan menjadikannya sebagai penopang kehidupannya. Seolah-olah beliau mengatakan: ‘Mengambil manfaat mereka tidak akan tercapai kecuali dengan bersabar terhadapnya.’”[6]

Bahkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan terhadap mereka di akhir kehidupannya, dan hal itu pada haji Wada’.

Sebagaimana at-Tirmidzi meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَـاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ -أَيْ أسِيْرَاتٍ- لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ، إِلاَّ أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَـاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، فَإِنْ فَعَلْنَ فَـاهْجُرُوْهُنَّ فِـي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْاهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِيْ بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقَّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فِيْ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ.

"Ingatlah, berbuat baiklah kepada wanita. Sebab, mereka itu (bagaikan) tawanan di sisi kalian. Kalian tidak berkuasa terhadap mereka sedikit pun selain itu, kecuali bila mereka melakukan perbuatan nista. Jika mereka melakukannya, maka tinggalkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Jika ia mentaati kalian, maka janganlah berbuat aniaya terhadap mereka. Mereka pun tidak boleh memasukkan siapa yang tidak kalian sukai ke tempat tidur dan rumah kalian. Ketahui-lah bahwa hak mereka atas kalian adalah kalian berbuat baik kepada mereka (dengan mencukupi) pakaian dan makanan mereka."[7]

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: “Makna عَـوَانٌ (dalam hadits di atas) adalah أَسِيْرَاتٌ (tawanan). Kaum wanita diserupakan sebagai tawanan di sisi kaum pria, karena kaum pria memerintah dan berkuasa atas mereka."[8]

Dalam riwayat Muslim:

اِتَّقُوا اللهَ فِـي النِّسَـاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَـانَةِ اللهِ، وَاسْـتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُـمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ.

"Bertakwalah kepada Allah dalam perihal wanita. Karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan dihalalkan atas kalian kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Maka hak mereka atas kalian adalah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan cara yang ma’ruf."[9]

Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ.

‘Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika ia tidak menyukai satu akhlak darinya, maka ia menyukai yang lainnya.’”[10]

2. DIHARAMKAN MENYEBARKAN RAHASIANYA.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، اَلرَّجُلُ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِيْ إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا

‘Manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah laki-laki yang 'mendatangi' isterinya, dan wanita itu pun 'mendatangi' suaminya, kemudian ia (laki-laki itu) menyebarkan rahasia isterinya.’”[11]

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini berisi pengharaman laki-laki menyebarkan apa yang berlangsung antara dirinya dengan isterinya, misalnya tentang hubungan suami isteri dan menyifati hal itu secara detil serta apa yang berlangsung pada diri wanita, baik ucapan, perbuatan maupun sejenisnya pada saat berhubungan. Adapun sekedar menyebut hubungan badan, jika tidak ada faidah di dalamnya dan tidak dibutuhkan, maka hal itu makruh, karena bertentangan dengan etika yang baik. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.

‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah dia berkata dengan perkataan yang baik atau diam.”[12]

3. DI ANTARA HAKNYA IALAH, ENGKAU MENGIZINKANNYA KELUAR UNTUK KEBUTUHANNYA YANG MENDESAK.
Kaum wanita pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai cadar, dan mereka keluar untuk keperluan mereka, seperti pergi untuk buang hajat sebelum WC dibuat di dalam rumah, atau pergi untuk keperluan yang mendesak. Tidak sebagaimana kaum wanita pada hari ini, mereka keluar, baik untuk suatu keperluan maupun tidak, dengan bersolek, berhias dan memakai parfum.

Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan: “Saudah binti Zam’ah keluar pada suatu malam, lalu ‘Umar melihat-nya dan mengenalinya seraya mengatakan: ‘Wahai Saudah, demi Allah, engkau tidak dapat menyembunyikan dirimu dariku.’ Maka ia pun kembali kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyebutkan hal itu kepada beliau, pada saat itu beliau berada di rumahku sedang makan malam dan tangan beliau sedang memegang tulang yang masih terdapat sisa daging padanya. Kemudian wahyu diturunkan kepada beliau, lalu (hidangan) diangkat dari beliau, seraya bersabda:

قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ.

‘Sesungguhnya Allah telah mengizinkan kepada kalian keluar untuk keperluan (hajat) kalian.’

Hisyam bin ‘Urwah berkata: ‘Maksudnya adalah buang hajat, yaitu buang air besar.’”[13]

Dalam riwayat Muslim: ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata: "Kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat tentang hijab."

Yang menyebabkan ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu melakukan hal itu karena dia menginginkan turunnya wahyu mengenai hijab. Dan ternyata, turunnya ayat hijab menyelarasi pendapat ‘Umar bin al-Khaththab.

Tetapi, keluarnya wanita dari rumahnya harus disertai beberapa syarat, yaitu:

a. Komitmen dengan hijab syar’i yang dapat menutupi tubuh wanita dan wajahnya, serta tidak berdandan dengan pakaian yang berwarna-warni, dan (hendaknya) memakai pakaian yang longgar.

b. Tidak berbaur dengan kaum pria.

c. Tidak memakai parfum. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa jika wanita melakukan hal itu, berarti dia adalah seorang yang demikian dan demikian, maksudnya pezina.

Jika wanita tidak komitmen dengan hal itu, dan keluarnya itu untuk kepentingan yang mendesak, maka dia tidak boleh keluar dari rumahnya tanpa memenuhi syarat yang kami sebutkan tadi.

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 5185) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 60) kitab ar-Radhaa’, (II/1091).
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 5184) kitab an-Nikaah, Muslim, no. 1468 kitab ar-Radhaa’.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5187) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah, (no. 1632) kitab Maa Jaa-a fil Janaa-iz, Ahmad (no. 5262).
[4]. HR. Ibnu Majah (no. 7678) kitab al-Adab, Ahmad (no. 9374), Ibnu Hibban, (no. 1266), al-Hakim (I/63) dan ia menilainya sebagai hadits shahih sesuai syarat Muslim. Disetujui oleh adz-Dzahabi dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahiihah (no. 1015).
[5]. HR. Al-Hakim (IV/174), dan ia menilainya shahih sesuai syarat Muslim, serta disetujui oleh adz-Dzahabi, Ibnu Hibban (no. 1308), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (III/163.
[6]. Al-Fat-h (IX/163).
[7]. HR. At-Tirmidzi (no. 1163), kitab ar-Radhaa’, dan ia menilainya sebagai hadits hasan shahih, Ibnu Majah (no. 185) kitab an-Nikaah, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Ibni Majah (no. 5101) dan al-Irwaa’ (no. 1997).
[8]. Lihat, Aadaabuz Zifaaf, Syaikh al-Albani, hal. 270.
[9]. HR. Muslim (no. 1218) kitab al-Hajj, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[10]. HR. Muslim (no. 1469) kitab ar-Ridhaa’, Ahmad (no. 8163).
[11]. HR. Muslim (no. 1437) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 4871) kitab al-Adab.
[12]. HR. Al-Bukhari (no. 6018) kitab al-Adab, Muslim (no. 47) kitab al-Iimaan, at-Tirmidzi (no. 2500) kitab Shifatul Qiyaamah war Raqaa-iq wal Waraa’, Abi Dawud (no. 5154) kitab al-Adab, Ibnu Majah (no. 3971). Dan lihat, Shahiih Muslim bisy Syarhin Nawawi (V/262).
[13]. HR. Al-Bukhari (no. 5237) kitab an-Nikaah, dan (no. 146) kitab al-Wudhuu’, Muslim (no. 2170) kitab as-Salaam.

source : http://almanhaj.or.id/content/2140/slash/0/wasiat-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam-tentang-wanita/

Rabu, 28 Agustus 2013

Makna di Balik Mahar Seperangkat Alat Sholat



 “Saya terima nikah dan kawinnya Fulanah binti Fulan dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan mushaf Al Quran dibayar tunai!”

Sering kita dengar kata-kata ini ketika menghadiri akad nikah seseorang. Bagi yang beragama Islam, pasti mas kawin berupa peralatan sholat dan mushaf Al-Qur’an sudah menjadi sebuah hal yang umum. Apalagi di negara yang katanya mayoritas Islam ini, mungkin aneh rasanya apabila ada seorang Muslim yang tidak menyertakan 2 mas kawin wajib itu dalam akad nikahnya. Bahkan ketika proses ta’aruf atau ketika sedang memperbincangkan masalah mas kawin yang akan diberikan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan pasti yang pertama kali disanggupi adalah seperangkat alat sholat dan mushaf Al Quran. Mengapa demikian? Adakah makna khusus dibalik pemberian dua mas kawin wajib tersebut?
Sangat disayangkan, setelah akad nikah selesai, perlengkapan sholat yang dijadikan sebagai mahar terbungkus rapi di dalam lemari tak pernah tersentuh. Tak jauh beda dengan mushaf Al Quran yang dijadikan mas kawin tersimpan rapi di rak buku dan hampir berdebu. Dua barang yang dijadikan sebuah keniscayaan dalam mas kawin itu hanya menjadi pajangan seusai ijab kabul. Padahal ada makna spesial di balik pemberian perlengkapan sholat dan mushaf Al Quran sebagai mahar.
Ketika seorang mempelai pria mengucapkan “Saya terima nikah dan kawinnya fulanah binti fulan dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan mushaf Al Quran”, ada ‘beban’ baru yang dipikulnya. Beban itu adalah sang suami berkewajiban untuk mengajarkan sholat kepada istrinya yang disimboli dengan pemberian seperangkat alat sholat. Suami juga berkewajiban untuk menjaga sholat istrinya dengan terus mengingatkannya dan membimbingnya supaya tidak melewatkan kewajiban yang satu ini. Karena sholat adalah amalan pertama kali yang akan dihisab pada yaumul hisab kelak.
Begitu pula dengan mas kawin berupa mushaf Al Quran. Mungkin bagi sebagian orang dua mahar ini dianggap sebagai mahar yang murah meriah dan mudah didapatkan di negara bermayoritas Muslim ini. Tapi sebenarnya mahar mushaf Al Quran adalah mahar termahal yang diberikan seorang suami kepada istrinya. Mengapa? Karena dengan memberikan mushaf Al Quran, berarti suami wajib untuk mengajarkan istrinya semua isi dari Al Quran yang diberikannya kepada istri dari surat Al Fatihah hingga surat An Naas. Suami berkewajiban untuk mengantarkan istrinya kepada akhlaqul quran. Suami juga berkewajiban untuk membawa keluarganya kepada kehidupan rumah tangga berdasarkan Al Quran dan menjadikan Al Quran sebagai pedoman kehidupan rumah tangganya. Gimana.. mahal banget kan mahar yang satu ini?
Sangat disayangkan ternyata realitas yang ada tidak demikian. Mushaf yang dulunya dibungkus rapi sebagai mahar itu tetap terbungkus rapi dalam plastik bening bergambar hati yang kini tergeletak di dalam buffet. Tak jauh berbeda dengan seperangkat alat sholat yang dulunya dibungkus rapi di dalam keranjang yang dihiasi kertas berwarna-warni kemudian di bungkus dengan plastik bening yang juga bergambar hati itu tersimpan rapi di sebelah mushaf Al Quran. Dan dengan bangganya si empunya barang tersebut memamerkan kepada tamu yang hadir, “Ini lho mahar yang dulu diberikan suami saya!”
Tak jadi masalah apabila mahar yang diberikan itu sengaja disimpan, karena memiliki mushaf dan peralatan sholat lain. Yang jadi masalah adalah ketika, seusai ijab kabul suami masa bodoh dengan janji yang dulu diucapkannya dan tidak mengindahkan ‘beban’ baru yang harus dipikulnya. Seorang suami memiliki kewajiban untuk menjaga istri dan anak-anaknya dari api neraka. 

”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…“ (QS At Tahrim: 6)
Adh-Dhahak berkata adalah kewajiban bagi seorang Muslim untuk mengajarkan keluarganya, kerabatnya, serta hamba sahaya yang dimilikinya apa-apa yang diwajibkan Allah dan apa-apa yang dilarang Allah. (Lihat Tafsir Al Quran Al-’Azhim, Ibnu Katsir)
Dalam kehidupan rumah tangga, tanggung jawab ini diamanahkan kepada suami sebagai imam dalam keluarga. Jadi, buat para istri yang mendapatkan mahar seperangkat alat sholat dan mushaf Al Quran tapi belum diajarkan isi dari Al Quran, jangan ragu untuk menagihnya kepada suami. Sekalian mengingatkan suaminya, amanat yang mungkin terlupakan oleh suami. Dan untuk para suami yang ketika akad nikah memberikan mahar seperangkat alat sholat dan mushaf Al Quran, dan belum memiliki andil dalam menjaga sholat istrinya dan mengajarkan isi Al Quran yang diberikan, hayuu atuh diajarkan istrinya. Biar istrinya makin sholehah, dan keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, yang diimpikan bisa tercapai. Lalu buat para calon istri dan suami, mulailah mempersiapkan bekal untuk berlayar dalam bahtera rumah tangga kehidupan.

source :  http://www.fimadani.com/makna-di-balik-mahar-seperangkat-alat-sholat/